Jumat, 11 Januari 2013

Lampu, Jepretan Pertama

Entah mengapa saya cukup tertarik dengan lampu. Ya...benda yang paling berjasa saat gelap ini membuat saya menaruh perhatian lebih kepadanya. Segala hal yang berhubungan dengan lampu, cahaya, sinar dan sebagainya itu membuat saya ingin lebih mengetahui dan mengenalnya. Ketertarikan saya pada lampu ini memang baru-baru ini saja. Tepatnya ketika saya memotret lampu untuk pertama kalinya. Dan itu terjadi pada lampu bohlam. Lampu gendut ini menjadi yang pertama kali saya potret.


Ada suatu percikan yang kecil namun tepat membasahi pikiran saya. Seperti itulah ketika foto lampu pertama   ini tercipta. Kekaguman juga muncul ketika saya menyadari bahwa ternyata ruang yang benar-benar bercahaya (dalam artian sumber cahaya) dalam bohlam itu hanyalah bagian filamen-nya. Sedangkan ruang lain disekitarya itu tidak. Dan menakjupkannya lagi bagaimana bisa benda yang berukuran tak lebih besar dari telur ayam itu bisa bersinar dan menerangi ruangan yang volumenya jauh lebih besar dan berkali-kali lipat dari bohlam itu. 


Ya..mungkin memang hal itu bisa dijelaskan dengan hukum fisika. Dan saya juga telah lua dengan pelajaran fisiki SMA tentang itu. Tapi coba anda rasakan lebih dalam....filamen yang panjangnya hanya 5-10cm itu bisa mengeluarkan cahaya dan berpendar, bersinar sampai bermeter-meter. Wao! tidakkah menakjubkan?

Rabu, 09 Januari 2013

Mahasiswa dalam Habitatnya

Anda mungkin telah mengetahui, mahasiswa adalah kaum “elit” akademik yang sudah jelas memiliki tingkatan lebih tinggi dibandingkan dengan pelajar lainnya. Dan memang sewajarnya bila mereka memikul tugas berat untuk kemajuan pendidikan negara yang masih saja berkembang ini. Oleh karena itu, tidak sedikit orang yang ingin menjadi bagian dari kaum elit tersebut. Berbagai perguruan tinggi berlomba-lomba menggait anak didik baru. Berusaha mati-matian untuk memperebutkan bangku kuliah sudah menjadi fenomena tahunan di kalangan pelajar yang akan meneruskan pendidikannya. Untuk tujuan yang relatif sama, mewujudkan mimpi dan cita-cita mereka yang dibawanya dari kampung. Atau mungkin hanya ingin meningkatkan status sosialnya karena gengsi. Kemudian apabila sudah memasuki kehidupan kampus, dibenak mereka hanya kesenangan dan masih buramnya peran yang seharusnya mereka lakukan sebagai masyarakat kampus. Hingga akhirnya terbuai dengan kebanggaan akan almamater, pudarnya semangat meraih cita-cita dan kemudian berimplikasi buruk pada nilai kuliahnya.

Kampus ibarat habitat bagi mahasiswa, mereka mencari makan akan lapar dan hausnya pengetahuan, lingkungan baru dimana mereka harus beradaptasi dan berinteraksi, serta tempat berkembangbiaknya kreatifitas dan ketrampilan para kaum elit akademik ini. Maka dari itu pentinglah peran mahasiswa dalam habitatnya. Bukan hanya itu mahasiswa juga harus bertanggung jawab atas kampus tempatnya berkembang. Di habitatnya mahasiswa diinisiasi agar nantinya siap berperan dalam masyarakat dan menjadi generasi penerus bangsa. Dalam prosesnya ini, kita sebagai mahasiswa tidak saja dituntun kritis terhadap suatu masalah namun juga solitif dan cerdas menyelesaikannya. Bukan hanya ikut berorganisasi kemudian mengutarakan aspirasinya dengan berdemonstrasi yang hanya berujung pada kekerasan dan tawuran, namun banyak dari kita yang tidak mengerti benar maksud tujuan dari aksi ini.

Tidak usahlah kita masuk ikut dalam berbagai macam organisasi atau unit kemahasiswaan tapi nantinya kita terjebak dengan rutinitasnya dan tidak bisa membagi waktu dengan belajar yang menjadi kewajiban pelajar. Dengan menjadi ketua kelas yang hanya bertugas mencari dosen yang datang terlambat juga sudah berperan dalam kehidupan kampus terutama dalam proses pembelajaran. Atau mungkin ke kantin makan sambil berinteraksi, bergaul dengan pandai mempertahankan identitas diri, mencari kawan serta memberi usulan pendapat pada diskusi apa saja, juga merupakan wujud peran kita dalam skala mikro. 

Skala lebih tingginya kita harus ikut dan benar-benar menjalani proses perkuliahan, menaati kontrak dengan dosen, mendukung dan melaksanakan program-program kampus, mengikuti aturan yang ada terutama proses administrasi. Untuk lebih berperan aktif memang tidak dipungkiri ikut berorganisasi seperti unit kemahasiswaan, politik kampus, penelitian atau klub-klub olimpiade dan lain sebagainya perlu untuk dilakukan. Berperan aktif dalam usaha mengharumkan nama kampus itulah inti dari maksud berperan dalam kehidupan kampus. 

Peribahasa “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya” juga dapat mencerminkan mahasiswa dalam kampus sebagai habitatnya. Menjadi mahasiswa yang bisa berkontribusi aktif baik untuk orang lain disekitar kita saat ini atau kemudian hari dan berprestasi bukanlah suatu hal yang mustahil. Yang terpenting adalah bagaimana kita pandai-pandai menyeimbangkan jungkat-jungkit rutinitas perkuliahan dan aktifitas organisasi. 

Mahasiswa bagaimanakah anda, wahai mahasiswa?

Minggu, 06 Januari 2013

Demi Kesalahan (Part 4)

[Sebelumnya Demi Kesalahan Part 3]
...Begitu cepat alam berubah dari perjalanan yang damai beberapa waktu yang lalu hingga menjadi usaha mencapai tujuan yang mencekam ini. Belum berakhir kecemasan kami jika benar-benar tersesat karena tebalnya kabut yang turun menghalangi pandangan kami. Tiba – tiba dari atas terdengar suara gemuruh petir dan guntur genggelegar ke seantero gunung Mara. Hujan deras yang kami kira tidak jadi turun ternyata turun juga. Bukan berarti kami tidak bersiap. Katon sudah mempersiapkan semuanya. Ia membawa empat ponco untuk kami semua. Air dengan cepat membasahi tanah merah gunung Mara. Membuat kami harus ekstra berhati-hati dalam melangkah. Inilah pengalaman terburuk dalam hidupku selama ini. Saat ini aku menyesal telah ikut dalam ekspedisi yang terencana demi sebuah kesalahan ini. Tidak adil mempertaruhkan nyawa untuk orang yang mungkin bisa saja membunuh kami. Aku memandang permukaan tanah yang tinggi disana yang sudah agak terlihat karena kabut mulai hilang dan tak terbayangkan dunia asing di atas sana.

Kabut tebal perlahan – lahan mulai hilang. Begitu juga dengan hujan deras yang hanya sesaat saja ini. Nuansa magis mulai terasa ketika kami mendekati sebuah pohon beringin besar. Tidak hanya ada sebuah ternyata ada banyak pohon beringin, hal itu benar, ini merupakan hutan beringin. Pohon beringin itu seperti berbicara, mereka seperti menyuruh kami untuk pergi dari gunung Mara ini. Rasanya tengkuk ditiup-tiup oleh angin jahat dari mulut ribuan hantu tak kasatmata yang membuntuti kami. Ada sebuah pengaruh mistis dan udara kuburan. Ada ras kemurtadan, penghiantan, dan pembangkangan pada Tuhan. Ada jerit kesakitan dari binatang yang dibantai untuk ritual sesat dan tercium bau amis darah, bau mayat-mayat lama yang sengaja tak dikubur, bau asap dupa untuk memanggil iblis, dan bau ancaman kematian.
Akar gantung pohon beringin yang menjulur tak karuan agaknya bak tangan mahluk suruhan yang mengawasi setiap gerak-gerik kami. Anjing-anjing yang melolong dalam kesenyapan malam tak tampak wujudnya. Kadang kala terdengar seperti bayi yang menangis atau nenek tua yang memohon ampun karena jilatan api neraka. Suara-suara ini mematahkan semangat dan menciutkan nyali. Sungguh besar segesti Mbah Suro dan sungguh hebat pengaruh magis legendanya sehingga menciptakan kesan mencekam seperti ini.

Kami berjalan pelan beriringan menuju kelompok pohon-pohon rindang dan batu-batu yang bertumpukkan. Didekatnya terdapat gua dimana tempat Mbah Suro tinggal. Kami bergetar namun tampak jelas setiap dari kami terutama Katon telah menunggu saat – saat seperti ini.

Tiba – tiba, seperti dikomandoni suara lolongan anjing yang tak tampak wujudnya berhenti, diganti oleh kesenyapan yang sangat. Burung - burung gagak berkaok-kaok nyaring bergantian dipuncak pohon beringin. Gua yang tepat berada didepan kami ini menyebarkan kengerian. Kami telah disambut dan harus siap dengan risiko apa pun. Kami hanya berdiri ketakutan apalagi didalam gua terlihat kain tipis bekelebat-kelebat lalu pelan-pelan seperti asap mengepul dari tumbukan kayu bash yang dibakar munjul sebuah sosok tinggi besar. Cara munculnya menyerupai ninja. Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan sosok itu tidak menginjak bumi. Ia seperti mngambang di udara, bergerak maju mundur seumpama gaya grafitasi tak berlaku baginya. Tiba – tiba sekelebat cepat sosok itu telah berdiri didepan kami geraknya seperti angin, tek bersuara tetapi cepat. Kami terperanjat, serentak mundur dan hampir lari pontang – panting. Tepat berada dua meter dari kami sosok Mbah Suro yang khas dengan segala kesan magis, ganjil, aneh, dan hal – hal yang jauh dari nalar manusia biasa.

Mbah Suro diam mematung. Tak sedikitpun tampak kemarahan di mukanya, karena kami sudah seenaknya memasuki wilayahnya. Mbah Suro duduk dan kami pun ikut duduk di atas batu yang sepertinya tempatnya bersemedi. Katon masih tak berani mengatakan tujuannya datang pada Mbah Suro. Namun karena desakan dari kami yang lain akhirnya ia memberanikan diri mengatakannya.

“Begini Mbah…..”
“Saya dan teman-teman saya datang kesini dengan maksud….”
“Opo sing mbok omongno le? Basamu ku basa endi?”. Tiba-tiba Mbah sura bertanya pada Katon seperti itu dengan penuh kewibawaannya sebagai dukun.
“Pake bahasa jawa, Ton. Jangan bahasa gaul” bisik Daus pada Katon
“Heh…?????” heran Katon
“Ngeten mbah, kula badhe nyuwun…… ”
“Wis ora usah mbok tutukno, aku wis ngerti arep ngapa kowe rene..”
“…biji sekolah elek-elek…..”
“…didukani bapak ibuk…”
“…pingin lulus ujian…”

Kemudian Mbah Suro meminta sebuah pena dan secarik kertas. Katon dengan segera memberikan benda-benda yang dibutuhkan Mbah Suro tadi. Mbah Suro mengambilnya dan dengan kecepatan yang jauh dari nalar manusia biasa ia masuk kembali ke dalam gua.
Dari dalam gua terdengar sesuatu yang aneh. Terdengar suara keras benda – benda dibanting-banting. Kami terperanjak dari tampat duduk dan kemudian duduk kembali berdekatan. Terdengar pula siura aungan binatang buar menakutkan yang belum pernah kami dengar. Mungkin Mbah Suro harus berkelahi habis - habisan dengan berbagai mahluk yang tak masuk akal demi untuk memenuhi permintaan Katon. Debu mulai keluar dari gua sepertinya telah terjadi pertampuran besar. Lalu piring kaleng, panci, tempurung kelapa, tungku, gelas kaleng, cambuk, pisau, parang, tampah, sendok, kitab-kitab kuno yang tak jelas tulisannya, kalender, peta, beberapa benda dari tulang, majalah primbon, gitar, bola sepak, stik baseball, batubaterai, lampu dop 5 watt, dan sobekan kertas putih terlempar keluar dari dalam gua dan berserakan disekitar kami.

Lalu dari dalam gua terdengar suara – suara kekalahan minta ampun, suara hewan-hewan yang lari ketakutan. Mbah Suro lalu muncul dengan keadaan segar bugar tanpa ada cacat sedikitpun. Seperti tidak terjadi apa-apa didalam gua. Kemudian ia menghampiri kami dengan membawa secarik kertas dari Katon tadi yang sudah ia gulung.
“Sakiki muleh kano, biji-bijimu sesuk iso dadi apik meneh…”
“Iku kertas gawanen muleh, tak lebokke ning botol iki, aja kok bukak nek kowe durung tekan omahmu…” kata Mbah Suro

Katon kemudian menerima gulungan kertas tadi yang sudah dimasukkan didalam botol. Dimasukkannya botoltadi kedalam ranselnya. Tanpa kami sempat mengucapkan terima kasih, secepat kilat, seperti angin Mbah Suro lenyap dari pandangan kami, sirna ditelan gelap dan asap dupa gua persemayamannya.

Kami lari terbirit-birit menuruni gunung Mara. Terseok – seok hampir terjatuh juga. Sesampainya di kaki gunung ternyata masih ada sinar mentari. Namun langit telah berubah menjadi kekuning – kuningan. Kulihat jam ditangan Syahdan masih jam empat kurang seperempat sore. Tak menunggu terlalu lama, angkot yang menuju ke terminal kota sebelah telah tiba. Kami langsung naik saja. Sampai di terminal kami langsung menaiki bis menuju ke terminal kota kami. Sepanjang perjalanan pulang kami tak satupun ada yang berbicara. Kami hanya saling pandang, saling menatap satu dengan yang lain. Kami tak mampu berkata apapun setelah apa yang baru saja kami alami ini.
Sesampainya kami terminal kota kami, kami masih saling diam tak ada satu katapun yang terucap dari mulut kami berempat. Mingkin teman-temanku masih mengingat – ingat dan membayangkan kejadian di gunung Mara barusan. Akhirnya aku yang mulai berbicara.

“Ton, ni sekarang gimana?”
“Heh….”. Tampaknya ia tidak memperhatikan aku berbicara da masih membayangkan hal tadi
“Sekarang kita gimana?”
“Kita buka gulungan kertas ini dilapangan basket saja”
Kami dari terminal langsung berjalan kaki ke lapangan basket. Singkat cerita kami langsung meletakkan semua barang bawaan sesampainya di lapangan basket. Sungguh lelah, letih, lapar dan mengantuk semua campur aduk jadi satu.
“Ton, cepet buka kertasnya” seru Daus
“Iy cepet” sahutku dan juga Syahdan
“Bentar” kata Katon

Semuanya mengerubung Katon kami saling berebut ingin melihat matra apa yang diberikan Mbah Suro untuk kesuksesan nilai-nilai Katon yang hancur. Katon perlahan membuka botol dan mengeluarkan gulungan kertas tadi. Katon perlahan – lahan membuka gulungan kertas itu dan di sana, dikertas itu tertulis dengan jelas:
...
...
...
...
...
Iki wangsit lan weling saka Mbah Suro
kanggo kowe le,
Nek pingin lulus ujian: 
Buka buku, waca, sinauni !!!

Sabtu, 05 Januari 2013

2012- The Humanity End

Maraknya mitos yang menyelimuti tahun 2012 yang beredar yang telah diembuskan, berbagai karya tulis (fiksi maupun bukan), musik, maupun film juga turut membikin 2012 menjadi sebuah angka yang kian berselimut misteri. Nah, dalam postingan kali ini saya ingin membahas tentang film baru yang menggemparkan akhir-akhir ini yang berjudul 2012. Film ini telah tayang 2 tahun yang lalu. Namun sebagai refleksi dari kekhawatiran public tentang isu akhir dunia ini film dan fenomenya yang mendasarinya kembali menceruat di akhir tahun 2012 ini.

Film ini bercerita tentang bencana alam global yang membawa ke akhir dunia dan juga perjuangan manusia yang ingin selamat dari bencana ini. Dikisahkan, warga dunia panik saat ramalan suku Indian Maya Inca Peru tentang kiamat menjadi kenyataan. Patung Kristus Sang Penebus yang berdiri kokoh di Rio de Janeiro, Brasil, hancur berkeping-keping. Hujan meteor berbola api disusul gempa mengguncang hebat. Yang tak kalah menggetarkan, basilika Gereja Santo Petrus di Vatikan, runtuh. Kita pun akan terpana menyaksikan kapal perang USS John F Kennedy tak berdaya diamuk badai dan akhirnya karam

Film ini mulanya ingin di sutradari oleh Michael Bay yang juga mensutradarai film Transformers 2 : Revenge Of The Fallen (yang telah tayang di bioskop), akan tetapi karena sesuatu hal, maka Ia tidak jadi untuk menyutradarai film tersebut. Tetapi kemudian nama Roland Emmerich akhirnya yang menyutradarai film ini. Sebelumnya Roland Emmerich juga pernah menyutradari film yang tak kalah bagus seperti Independence Day, The Day After Tomorrow, dan Godzilla. Film yang beranggaran US$ 200 juta ini diperankan oleh John Cusack, Amanda Peet, Danny Glover, Oliver Platt, dan Woody Harelson akan segera tayang tahun ini 13 November 2009.

Nah, bagaimana kita baiknya menyikapi kejadian - kejadian yang diceritakan dalam film ini??? Hal ini kembali kepada anda

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons