Huruf terangkai jadi kata. Kata tersusun padu
jadi kalimat. Yang dapat menjadi teka-teki. Pelan-pelan ku baca, dimengerti
satu persatu, dan tahu jawabannya. “Amerika” jawaban dari suatu soal dari teka
– teki silang dalam koran harian yang menumpuk di gudangku. Koran bekas yang
mungkin besok seminggu lagi dijual, dikilokan, dan paling hanya mendapat 25
ribu rupiah, tidak sebanding dengan uang yang ayah keluarkan untuk membayar
harga berlangganan setiap bulannnya.
Jam di dinding berdentang, menunjukkan tepat
pukul sembilan pagi. Di hari minggu ini, sudah satu jam aku mengerjakan
teka-teki silang, tak terasa aku sudah menyelesaikannya. Terdengar suara “
kring…..kring….kring….” telepon rumahku memanggil. Kuangkat gagang telepon, ku
tempelkan di telingaku. Terdengar suara seseorang di telepon.
“ Hallo, Iko ? ” ( suara seseorang )
“ Ia, saya sendiri ” ( agak ragu-ragu menjawab
).
“ To do point aja ya, soalnya pulsaku kritis,
tinggal 600 rupiah. Ko, basket yuk, mau nggak ? Sekarang, kamu langsung aja ke
lapangan, udah pada di sini ”.
“ Ya. Aku langsung ke lapangan, Us ? ”
“ Ya, langsung aja ! ”
“ Langsung ? ”
“ Iyaaa, dah cepet ke sini ! Udah, dah,
pulsaku ntar habis, di tunggu teman – teman , cepet ke sini ! ” ( langsung
menutup telepon )
Sesuai perintah Daus, aku cepat-cepat pergi ke
lapangan. Sesampainya di lapangan hanya terlihat dua temanku yang sudah asik
bermain, mencoba memasukkan bola ke ring . Tidak ada orang lain di lapangan
basket milik sekolah menengah dekat rumahku ini. Jadi, lapangan ini sudah seperti
milik kita sendiri, aku dan ketiga temanku. Langsung saja ku sandarkan dan ku
kunci motorku, ku letakkan helm hitamku, dan bergabung dengan temanku.
Teman – temanku sedang asik bermain, aku
segera bergabung saja.
“ Loh, Katon mana ? ”, tanya Syahdan sambil
menembakkan bola.
“ Lho, aku kira dia sudah di sini. Jadi, tadi
aku langsung ke sini aja” jawabku seraya menangkap bola.
“ Tadi Katon sudah ku beri tahu ”, sahut Daus.
“ Trus ? ”, tanyaku.
“ Yaaa, ditunggu aja, paling sebentar lagi
datang ”, jawab Daus.
“ Paling sebentar lagi. Us, oper bolanya ke
sini ”, sahut Syahdan seraya menyongsong bola. Kami mulai bermain, sambil
menunggu Katon.
Basket adalah salah satu olahraga yang aku
senangi mungkin begitu juga dengan teman-temanku, sungguh mengasikkan. Olahraga
dan sekaligus permainan yang membutuhkan kecermatan, ketepatan, dan juga
keahlian individu. Dapat memasukkan bola dalam tembakan pinalti, sungguh
sesuatu yang menggembirakan bagi amatiran seperti kami. Apalagi dapat
memasukkan bola dari tembakan three point, akan dianggap hanya suatu
keberuntungan, walau terkadang dapat dilakukan berulang kali.
Meski kami hanya bermain setengah lapangan,
itu tidak mengurangi seru dan asiknya permainan ini. Kami hanya berempat, jadi
lucu lah kalau bermain satu lapangan penuh. Biasanya juga seperti ini. Tetapi,
kalau anak-anak kecil lain ikut bermain ya berbeda ceritanya. Namun kali ini
tidak ada orang lain selain kami. Hal ini sudah tentu tidak aneh lagi, karena
orang – orang lain memilih bermain di stadion, 500 meter dari tempatku berada
ini yang terdapat tiga lapangan basket yang terawat baik serta halus
permukaannya, lebih baik dan banyak orang.
Sebuah bola bundar kuning kemerahan dengan
garis hitam dan terdapat tulisan Mikasa bercetak hitam tebal melesat cepat dan
tepat ke arah ku. Spontan aku menahan bola itu dengan tanganku. Bola itu benar
– benar mengenai jari tanganku sampai terasa, benar – benar terasa, terasa
sakit, dan benar – benar sakit, sampai benar – benar tak dapat ku gerakkan.
Umpan dari Syahdan memang benr-benar cepat sampai-sampai aku tak memperhatikan.
“ Maaf , Ko . Aku nggak sengaja ”.
“ Ah, nggak apa-apa” kataku sambil menahan
rasa sakit.
“ Bener, gak apa-apa?”, sahut Syahdan.
“ Gak apa – apa, yuk lanjutin lagi mainnya ”
seruku.
Permainanpun dimulai kembali.
Matahari benar-benar bersinar, udara begitu
terasa sangat panas. Ini adalah puncak dari teriknya sang surya, sengatannya
sampai terasa di ujung kakiku. Bahkan permukaan lapangan yang terbuat dari
semen ikut merasakan teriknya matahari. Teriknya matahari hingga membuat jalan
di samping lapangan berkeringat. Keringatnya sampai-sampai membentuk sebuah
kubangan air, menyerupai kolam. Fatamorgana tepatnya, bukan berkeringat. Mana
mungkin aspal dapat berkeringat, sebatas mata memandang saja, hanya pantulan
cahaya matahari saat tengah hari yang benar-benar terik, hingga dapat
menciptakan seolah – olah kubangan air.
Tengah hari dengan cuaca yang benar-benar
panas seperti saat ini, membuat setiap orang yang ingin mengerjakan sesuatu menjadi
mengurungkan niatnya dan lebih memilih untuk tidur dirumah atau minum es. Tak
hanya orang bahkan hingga anginpun tak berani untuk bergerak, berhembus hanya
untuk menyejukkan tubuhku. Biarkan tubuhku ini merasakan sedikit rasa dingin
yang menyejukkan. Terdapat pohon-pohon rindang disekitar kami, namun
bayangannya yang dapat melindungi kami dari panasnya cuaca tak sampai ke
lapangan.
Tak tahan dengan udara panas yang
semakin lama semakin tak tertahankan, kamipun memutuskan untuk beristirahat
dibawah pohon mangga yang juga terdapat lincak, untuk menghilangkan
keringat dan tentu menyejukkan badan dengan es teh yang dibeli dengan patungan.
Tak lama berselang, dari ke jauhan terdengar suara deru kendaraan yang tak
asing di telinga kami. Deru kendaraan roda dua yang pasti terdengar bahkan oleh
orang tuli sekalipun. Suara dari knalpot yang sudah cukup lama meresahkan
banyak orang. Suara yang timbul dari knalpot modifikasi milik temanku, Katon....
[Bersambung
Demi Kesalahan Part 2]