...Begitu cepat alam berubah dari perjalanan yang damai beberapa waktu yang lalu hingga menjadi usaha mencapai tujuan yang mencekam ini. Belum berakhir kecemasan kami jika benar-benar tersesat karena tebalnya kabut yang turun menghalangi pandangan kami. Tiba – tiba dari atas terdengar suara gemuruh petir dan guntur genggelegar ke seantero gunung Mara. Hujan deras yang kami kira tidak jadi turun ternyata turun juga. Bukan berarti kami tidak bersiap. Katon sudah mempersiapkan semuanya. Ia membawa empat ponco untuk kami semua. Air dengan cepat membasahi tanah merah gunung Mara. Membuat kami harus ekstra berhati-hati dalam melangkah. Inilah pengalaman terburuk dalam hidupku selama ini. Saat ini aku menyesal telah ikut dalam ekspedisi yang terencana demi sebuah kesalahan ini. Tidak adil mempertaruhkan nyawa untuk orang yang mungkin bisa saja membunuh kami. Aku memandang permukaan tanah yang tinggi disana yang sudah agak terlihat karena kabut mulai hilang dan tak terbayangkan dunia asing di atas sana.
Kabut tebal perlahan – lahan mulai hilang.
Begitu juga dengan hujan deras yang hanya sesaat saja ini. Nuansa magis mulai
terasa ketika kami mendekati sebuah pohon beringin besar. Tidak hanya ada
sebuah ternyata ada banyak pohon beringin, hal itu benar, ini merupakan hutan
beringin. Pohon beringin itu seperti berbicara, mereka seperti menyuruh kami
untuk pergi dari gunung Mara ini. Rasanya tengkuk ditiup-tiup oleh angin jahat
dari mulut ribuan hantu tak kasatmata yang membuntuti kami. Ada sebuah pengaruh
mistis dan udara kuburan. Ada ras kemurtadan, penghiantan, dan pembangkangan
pada Tuhan. Ada jerit kesakitan dari binatang yang dibantai untuk ritual sesat
dan tercium bau amis darah, bau mayat-mayat lama yang sengaja tak dikubur, bau
asap dupa untuk memanggil iblis, dan bau ancaman kematian.
Akar gantung pohon beringin yang menjulur tak
karuan agaknya bak tangan mahluk suruhan yang mengawasi setiap gerak-gerik
kami. Anjing-anjing yang melolong dalam kesenyapan malam tak tampak wujudnya.
Kadang kala terdengar seperti bayi yang menangis atau nenek tua yang memohon
ampun karena jilatan api neraka. Suara-suara ini mematahkan semangat dan
menciutkan nyali. Sungguh besar segesti Mbah Suro dan sungguh hebat pengaruh
magis legendanya sehingga menciptakan kesan mencekam seperti ini.
Kami berjalan pelan beriringan menuju kelompok
pohon-pohon rindang dan batu-batu yang bertumpukkan. Didekatnya terdapat gua
dimana tempat Mbah Suro tinggal. Kami bergetar namun tampak jelas setiap dari
kami terutama Katon telah menunggu saat – saat seperti ini.
Tiba – tiba, seperti dikomandoni suara
lolongan anjing yang tak tampak wujudnya berhenti, diganti oleh kesenyapan yang
sangat. Burung - burung gagak berkaok-kaok nyaring bergantian dipuncak pohon
beringin. Gua yang tepat berada didepan kami ini menyebarkan kengerian. Kami
telah disambut dan harus siap dengan risiko apa pun. Kami hanya berdiri
ketakutan apalagi didalam gua terlihat kain tipis bekelebat-kelebat lalu
pelan-pelan seperti asap mengepul dari tumbukan kayu bash yang dibakar munjul
sebuah sosok tinggi besar. Cara munculnya menyerupai ninja. Dengan mata
kepalaku sendiri aku menyaksikan sosok itu tidak menginjak bumi. Ia seperti
mngambang di udara, bergerak maju mundur seumpama gaya grafitasi tak berlaku
baginya. Tiba – tiba sekelebat cepat sosok itu telah berdiri didepan kami
geraknya seperti angin, tek bersuara tetapi cepat. Kami terperanjat, serentak
mundur dan hampir lari pontang – panting. Tepat berada dua meter dari kami
sosok Mbah Suro yang khas dengan segala kesan magis, ganjil, aneh, dan hal –
hal yang jauh dari nalar manusia biasa.
Mbah Suro diam mematung. Tak sedikitpun tampak
kemarahan di mukanya, karena kami sudah seenaknya memasuki wilayahnya. Mbah
Suro duduk dan kami pun ikut duduk di atas batu yang sepertinya tempatnya
bersemedi. Katon masih tak berani mengatakan tujuannya datang pada Mbah Suro.
Namun karena desakan dari kami yang lain akhirnya ia memberanikan diri
mengatakannya.
“Begini Mbah…..”
“Saya dan teman-teman saya datang kesini
dengan maksud….”
“Opo sing mbok omongno le? Basamu ku basa
endi?”. Tiba-tiba Mbah sura bertanya pada Katon seperti itu dengan penuh
kewibawaannya sebagai dukun.
“Pake bahasa jawa, Ton. Jangan bahasa gaul”
bisik Daus pada Katon
“Heh…?????” heran Katon
“Ngeten mbah, kula badhe nyuwun…… ”
“Wis ora usah mbok tutukno, aku wis ngerti
arep ngapa kowe rene..”
“…biji sekolah elek-elek…..”
“…didukani bapak ibuk…”
“…pingin lulus ujian…”
Kemudian Mbah Suro meminta sebuah pena dan
secarik kertas. Katon dengan segera memberikan benda-benda yang dibutuhkan Mbah
Suro tadi. Mbah Suro mengambilnya dan dengan kecepatan yang jauh dari nalar
manusia biasa ia masuk kembali ke dalam gua.
Dari dalam gua terdengar sesuatu yang aneh.
Terdengar suara keras benda – benda dibanting-banting. Kami terperanjak dari
tampat duduk dan kemudian duduk kembali berdekatan. Terdengar pula siura aungan
binatang buar menakutkan yang belum pernah kami dengar. Mungkin Mbah Suro harus
berkelahi habis - habisan dengan berbagai mahluk yang tak masuk akal demi untuk
memenuhi permintaan Katon. Debu mulai keluar dari gua sepertinya telah terjadi
pertampuran besar. Lalu piring kaleng, panci, tempurung kelapa, tungku, gelas
kaleng, cambuk, pisau, parang, tampah, sendok, kitab-kitab kuno yang tak jelas
tulisannya, kalender, peta, beberapa benda dari tulang, majalah primbon, gitar,
bola sepak, stik baseball, batubaterai, lampu dop 5 watt, dan sobekan kertas
putih terlempar keluar dari dalam gua dan berserakan disekitar kami.
Lalu dari dalam gua terdengar suara – suara
kekalahan minta ampun, suara hewan-hewan yang lari ketakutan. Mbah Suro lalu
muncul dengan keadaan segar bugar tanpa ada cacat sedikitpun. Seperti tidak terjadi
apa-apa didalam gua. Kemudian ia menghampiri kami dengan membawa secarik kertas
dari Katon tadi yang sudah ia gulung.
“Sakiki muleh kano, biji-bijimu sesuk iso dadi
apik meneh…”
“Iku kertas gawanen muleh, tak lebokke ning
botol iki, aja kok bukak nek kowe durung tekan omahmu…” kata Mbah Suro
Katon kemudian menerima gulungan kertas tadi
yang sudah dimasukkan didalam botol. Dimasukkannya botoltadi kedalam ranselnya.
Tanpa kami sempat mengucapkan terima kasih, secepat kilat, seperti angin Mbah
Suro lenyap dari pandangan kami, sirna ditelan gelap dan asap dupa gua
persemayamannya.
Kami lari terbirit-birit menuruni gunung Mara.
Terseok – seok hampir terjatuh juga. Sesampainya di kaki gunung ternyata masih
ada sinar mentari. Namun langit telah berubah menjadi kekuning – kuningan.
Kulihat jam ditangan Syahdan masih jam empat kurang seperempat sore. Tak
menunggu terlalu lama, angkot yang menuju ke terminal kota sebelah telah tiba.
Kami langsung naik saja. Sampai di terminal kami langsung menaiki bis menuju ke
terminal kota kami. Sepanjang perjalanan pulang kami tak satupun ada yang
berbicara. Kami hanya saling pandang, saling menatap satu dengan yang lain.
Kami tak mampu berkata apapun setelah apa yang baru saja kami alami ini.
Sesampainya kami terminal kota kami, kami
masih saling diam tak ada satu katapun yang terucap dari mulut kami berempat.
Mingkin teman-temanku masih mengingat – ingat dan membayangkan kejadian di
gunung Mara barusan. Akhirnya aku yang mulai berbicara.
“Ton, ni sekarang gimana?”
“Heh….”. Tampaknya ia tidak memperhatikan aku
berbicara da masih membayangkan hal tadi
“Sekarang kita gimana?”
“Kita buka gulungan kertas ini dilapangan
basket saja”
Kami dari terminal langsung berjalan kaki ke
lapangan basket. Singkat cerita kami langsung meletakkan semua barang bawaan
sesampainya di lapangan basket. Sungguh lelah, letih, lapar dan mengantuk semua
campur aduk jadi satu.
“Ton, cepet buka kertasnya” seru Daus
“Iy cepet” sahutku dan juga Syahdan
“Bentar” kata Katon
Semuanya mengerubung Katon kami saling berebut
ingin melihat matra apa yang diberikan Mbah Suro untuk kesuksesan nilai-nilai
Katon yang hancur. Katon perlahan membuka botol dan mengeluarkan gulungan
kertas tadi. Katon perlahan – lahan membuka gulungan kertas itu dan di sana,
dikertas itu tertulis dengan jelas:
...
...
...
...
...
Iki wangsit lan weling saka Mbah Suro
Nek pingin lulus ujian:
Buka buku, waca, sinauni !!!